Monday, July 18, 2011

KHUTBAH NABI S.A.W. MENYAMBUT RAMADHAN


by Khairul Nasirin on Thursday, July 7, 2011 at 8:21pm

Barangsiapa memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, yang demikian itu adalah pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka


KHOTBAH NABI S.A.W. MENYAMBUT RAMADHAN

"Sungguh telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh
keberkatan. Allah telah mewajibkan kepadamu puasa-Nya. Didalam bulan
Ramadhan dibuka segala pintu syurga dan dikunci segala pintu neraka dan
dibelenggu seluruh syaithan. Padanya ada suatu malam yang terlebih baik
dari seribu bulan. Barangsiapa tidak diberikan kepadanya kebaikan malam
itu, maka sesungguhnya dia telah dijauhkan dari kebajikan."

"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan penghulu segala bulan, maka "Selamat datanglah" kepadanya."
 Wahai manusia, sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkatan, bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu kewajiban, dan qiam dimalam harinya suatu tatawwu'.
Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan didalamnya samalah dia dengan orang yang menunaikan sesuatu fardhu didalam bulan yang lainnya. Barangsiapa menunaikan sesuatu fardhu dalam bulan Ramadhan samalah dia dengan orang yang mengerjakan tujuh puluh fardhu dibulan lainnya. Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya adalah surga. Ramadhan itu adalah bulan memberikan pertulungan dan bulan Allah memberikan rezeki kepada mukmin didalamnya.
Barangsiapa memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, yang demikian itu adalah pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa. Allah memberikan pahala itu kepada orang yang memberikan walaupun sebutir korma, atau seteguk air, atau sehirup susu. Dialah bulan yang permulaannya Rahmah, pertengahannya ampunan, dan akhirnya kemerdekaan dari neraka. Barangsiapa yang meringankan beban seseorang (yang membantunya) niscaya Allah mengampuni dosanya. Oleh itu banyakkanlah yang empat perkara dibulan Ramadhan.
Dua perkara untuk mendatangkan keredhaan Tuhanmu dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya. Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya tiada tuhan melainkan Allah dan mohon ampun kepada-Nya.

Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan
perlindungan dari neraka. Barangsiapa memberi minum orang yang
berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolamku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk kedalam surga."

Wednesday, May 25, 2011

Kimia kebahagian Imam Al-Ghozali

BAB 1 : Pengetahuan Tentang Diri
Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai
dengan Hadits: "Dia yang mentetahui dirinya sendiri, akan mengetahui
Tuhan," dan sebagaimana yang tertulis di dalam al-Qur'an: "Akan Kami
tunjukkan ayat-ayat kami di dunia ini dan di dalam diri mereka, agar
kebenaran tampak bagi mereka." Nah, tidak ada yang lebih dekat kepada
anda kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri,
bagaimana anda bisa mengetahui segala sesuatu yang lain. Jika anda
berkata" "Saya mengetahui diri saya"- yang berarti bentuk luar anda; badan,
muka dan anggota-anggota badan lainnya - pengetahuan seperti itu tidak
akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula
halnya jika pengetahuan anda hanyalah sekedar bahwa kalau lapar anda
makan, dan kalau marah anda menyerang seseorang; akankah anda
dapatkan kemajuan-kemajuan lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat
bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam pengetahuan tentang
hal-hal berikut ini:
Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan
anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda
dan kesedihan anda yang sebenarnya berada? Sebagian sifat anda adalah
sifat-sifat binatang, sebagian yan glain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya
sifat-sifat malaikat. Mestai anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yan
gaksidental dan mana yan gesensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini,
tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya.
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Oleh karena itu, jika
anda seekor hewan, sibukkan diri anda dengan pekerjaan-pekerjaan ini.
Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika
anda termasuk dalam kelompok mereka, kerjakan pekerjaan mereka.
Malaikat-malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sama sekali
bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika anda punya sifat-sifat malaikat, maka
berjuanglah untuk mencapai sifat-sifat asal anda agar bisa anda kenali dan
renungi Dia Yang Maha Tinggi, serta merdeka dari perbudakan nafsu dan
amarah. Juga mesti anda temukan sebab-sebab anda diciptakan dengan
kedua insting hewan ini: mestikah keduanya menundukkan dan
memerangkap anda, ataukah anda yang mesti menundukkan mereka dan -
dalam kemajuan anda - menjadikan salah satu di antaranya sebagai kuda
tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari bahwa
anda terdiri dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam
yang disebut sebagai hati atau ruh. Yang saya maksudkan dengan "hati"
bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi sesuatu
yang menggunakan fakultas-fakultas lainnya sebagai alat dan pelayannya.
Pada hakikatnya dia tidak termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia

maya; dia datang ke dunia ini sebagai pelancong yan gmengunjungi suatu
negeri asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan kembali
ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang
merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan.
Beberapa gagasan tentang hakikat hati atau ruh bisa diperoleh seseorang
yang mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya
selain individualitasnya. Dengan demikian, ia juga akan memperoleh
penglihatan sekilas akan sifat tak berujung dari individualitas itu. Meskipun
demikian, pemeriksaan yang terlalu dekat kepada esensi ruh dilarang oleh
syariat. Di dalam al-Qur'an tertulis: "Mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakan: Ruh itu adalah urusan Tuhanku." (QS 17:85). Yang bisa diketahui
adalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terpisahkan yang termasuk
dalam dunia titah, dan bahwa ia tidak berasal dari sesuatu yang abadi,
melainkan diciptakan. Pengetahuan filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah
merupakan pendahuluan yang perlu untuk perjalanan di atas lintasan agama,
melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri dan kesabaran berada di
atas lintasan itu, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur'an: "Siapa yang
berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan yan glurus."
(QS 29:69).
Untuk melanjutkan peperangan ruhaniah demi mendapatkan pengetahuan
tentang diri dan tentang Tuhan, jasad bisa digambarkan sebagai suatu
kerajaan, jiwa (ruh) sebagai rajanya serta berbagai indera dan fakultas lain
sebagai tentaranya. Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana menteri,
nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah sebagai petugas polisi. Dengan
berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu terus-menerus cenderung untuk
merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah selalu cenderung
kepada kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan petugas polisi
keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau
diungguli, mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus
dipenuhinya. Tapi jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka - tak bisa
tidak - keruntuhan jiwa pasti terjadi. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas
yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi ibarat seseorang yang
menyerahkan seorang bidadari kepada kekuasaan seekor anjing, atau
seorang muslim kepada tirani seorang kafir.
Penanaman kualitas-kualitas setan, hewan ataupun malaikat menghasilkan
watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut - yang di Hari Perhitungan
akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, ganas
sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat. Tujuan disiplin moral
adalah untuk memurnikan hati dari karat-nafsu dan amarah, sehingga
bagaikan cermin yan gjernih, ia memantulkan cahaya Tuhan.
Barangkali di antara pembaca ada yang akan berkeberatan, "Tapi jika
manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat,
bagaimana bisa kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan esensinya
yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental
dan peralihan belaka?" Atas pertanyaan ini, saya jawab bahwa esensi tiap
makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya.

Kuda dan keledai kedua-duanya adalah hewan pengangkut beban, tetapi
kuda lebih unggul dari keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang. Jika
gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang pengangkut beban.
Fakultas tertinggi di dalamnya adalah nalar yang menjadikannya bisa
merenung tentang Tuhan. Jika fakultas ini dominan dalam dirinya, maka
ketika mati dia tinggalkan di belakangnya segenap kecenderungan kepada
nafsu dan amarah, sehingga memungkinkannya berkawan dengan para
malaikat. Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan, manusia kalah
dibanding banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka,
sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an: "Telah Kami tundukkan segala
sesuatu di atas bumi untuk manusia" (QS 45:13). Tetapi jika kecenderungankecenderungannya
yang lebih rendah yang menang, maka setelah
kematiannya, dia akan selamanya menghadap ke bumi dan mendambakan
kesenangan-kesenangan duniawi.
Selanjutnya, jiwa rasional di dalam manusia penuh dengan keajaibankeajaiban
pengetahuan maupun kekuatan. Dengan itu semua ia menguasai
seni dan sains, ia bisa menempuh jarak dari bumi ke langit bolak-balik
secepat kilat, dan mampu mengatur lelangit dan mengukur jarak antar
bintang. Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan burungburung
dari udara, serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah,
unta dan kuda.
Pancainderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar.
Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah
dunia ruh yang tak kasat-mata. Dalam keadaan tertidur, ketika saluran
inderanya tertutup, jendela ini terbuka dan ia menerima kesan-kesan dari
dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa
depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu
yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur,
pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan
memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak
jelas. Meskipun demikian setelah mati pikiran-pikiran seperti itu sirna dan
segala sesuatu tampak dalam hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam
al-Qur'an pun menyatakan: "Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini
penglihatanmu amat tajam."
Membuka sebuah jendela di dalam hati yang mengarah kepada yan gtakkasat-
mata ini juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham
kenabian, yakni ketika intuisi timbul di dalam pikiran - tak terbawa lewat
saluran-indera apa pun. Makin seseorang memurnikan dirinya dari syahwatsyahwat
badani dan memusatkan pikirannya pada Tuhan, akan makin
pekalah ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang-orang yang tidak sadar
akan hal ini tidak punya hak untuk menyangkal hakikatnya.
Intuisi-intuisi seperti itu tidak pula terbatas hanya pada tingkatan kenabian
saja. Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa
dijelmakan menjadi sebuah cermin. Jadi, dengan disiplin yang memadai,
pikiran siapa pun bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti itu.
Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau berkata: "Setiap
6
anak lahir dengan suatu fitrah (untuk menjadi muslim); orang tuanyalah yang
kemudian membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi." Setiap
manusia, di kedalaman kesadarannya, mendengar pertanyaan "Bukankah
Aku ini tuhanmu?" dan menjawab "Ya". Tetapi ada hati yang menyerupai
cermin yang telah sedemikian dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak
lagi memberikan pantulan-pantulan yang jernih. Sementara hati para nabi dan
wali, meskipun mereka juga mempunyai nafsu seperti kita, sangat peka
terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.
Bukan hanya dengan nalar pengetahuan capaian dan intuitif saja jiwa
manusia bisa menempati tingkatan palin gutama di antara makhluk-makhluk
lain, tetapi juga dengan nalar kekuatan. Sebagaimana malaikat-malaikat
berkuasa atas kekuatan-kekuatan alam, demikian jugalah jiwa mengatur
anggota-anggota badan. Jiwa yang telah mencapai suatu tingkatan kekuatan
khusus, tidak saja mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang
lain. Jika mereka ingin agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit
pun akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar jatuh sakit,
maka sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, maka
datanglah orang itu kepadanya. Sesuai dengan baik-buruknya akibat yang
ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini, hal tersebut diistilahkan sebagai
mukjizat dan sihir. Jiwa ini berbeda dari orang biasa dalam tiga hal:
1. Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagai mimpi, mereka lihat
pada saat-saat jaga.
2. Sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka
saja, jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya, bisa pula menggerakan
jasad-jasad di luar mereka.
3. Pengetahuan yang oleh orang lain diperoleh dengan belajar secara
sungguh-sungguh, sampai kepada mereka lewat intuisi.
Tentunya bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari
orang-orang biasa, tetapi hanya ketiganya itulah yang bisa kita ketahui.
Sebagaimana halnya, tidak ada sesuatu pun yang mengetahui sifat-sifat
Tuhan yang sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka tak ada seorang pun
yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali seorang Nabi. Hal
ini tak perlu kita herankan, sama halnya dengan di dalam peristiwa sehari-hari
kita melihat kemustahilan untuk menerangkan keindahan puisi pada
seseorang yan gtelinganya kebal terhadap irama, atau menjelaskan
keindahan warna kepada seseorang yang sama sekali buta. Di samping
ketidakmampuan, ada juga hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian
kebenaran ruhaniah. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang
dicapai secara eksternal. Sebagai misal, hati bisa digambarkan sebagai
sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan terus-menerus
membawa air ke dalamnya. Agar bisa menemukan kandungan hati yang
sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara
apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur
itu. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang
murni, pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan
proses-proses eksternal dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka
dogmatis.

Kesalahan dari jenis lain, berlawanan dengan itu, dibuat oleh orang-orang
yang dangkal yang - dengan menggemakan beberapa ungkapan yang
mereka tangkap dari guru-guru Sufi - ke sana ke mari menyebarkan kutukan
terhadap semua pengetahuan. Ia bagaikan seseorang yang tidak capak di
bidang kimia menyebarkan ucapan: "Kimia lebih baik dari emas," dan
menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari
emas, tapi para ahli kimia sejati amatlah langka, demikian pula Sufi-sufi sejati.
Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf,
tidak lebih unggul daripada seorang yang terpelajar. Demikian pula seseorang
yang baru mencoba beberapa percobaan kimia, tidak punya alasan untuk
merendahkan seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan
memang terkaitkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam
diri kita senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat
senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang
melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara
yang selaras. Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran,
karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan
tersendiri. Bahkan soal-soal remeh, seperti mempelajari catur, juga
mengandung kebaikan. Dan makin tinggi materi subyek pengetahuan
didapatnya, makin besarlah kesenangannya. Seseorang akan senang jika
dipercayai untuk jabatan Perdana Menteri, tetapi betapa lebih senangnya ia
jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal
rahasia baginya.
Seorang ahli astronomi yang dengan pengetahuannya bisa memetakan
bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak
kenikmatan dari pengetahuannya dibanding seorang pemain catur. Setelah
mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Allah, maka betapa
akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati tentang-
Nya itu!
Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah
bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat,
atau yang untuk hidupnya lebih menyukai makan lempung daripada roti.
Semua nafsu badani musnah pada saat kematian bersamaan dengan
kematian organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut. Tetapi jiwa
tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah
menambahnya.
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian
dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan pada kita
kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasan-
Nya, Ia bangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu
tetesan belaka. Kebijakan-Nya terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita
serta kemampuan bagian-bagiannya untuk saling menyesuaikan, Ia
perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih dari sekadar organ-organ
yang memang mutlak perlu bagi eksistensi - seperti hati, jantung dan otak -
tetapi juga yang tidak mutlak perlu - seperti tangan, kaki, lidan dan mata.
8
Kepada semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut,
merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata.
Manusia dengan tepat disebut sebagi 'alamushshaghir' atau jasad-kecil di
dalam dirinya. Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orangorang
yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin
mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi
yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi
yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang kejeniusan
pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih
penting dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang
pengetauhan tentan gjasad kita dan fungsi-fungsinya. Jasad bisa
diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya.
Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia tidak
mengetahui jiwanya sendiri - yang merupakan sesuatu yang paling dekat
dengannya - maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain.
Kalau demikian, ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki
persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk
kota.
Dalam bab ini kita telah berusaha sampai tingkat tertentu untuk memaparkan
kebesaran jiwa manusia. Seseorang yang mengabaikannya dan menodai
kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang
kalah di dunia ini dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang
sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih
kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk
yang paling lemah di antara segalanya - takluk oleh kelaparan, kehausan,
panas, dingin dan penderitaan. Sesuatu yang paling ia senangi sering
merupakan sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang
menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan kesusahan dan
kesulitan. Mengenai inteleknya, sekadar suatu kekacauan kecil saja di dalam
otaknya sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila.
Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa
mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia sudah akan
gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang
kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik daripada benda-benda
memuakkan yang diselubungi dengan kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia
akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di
dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai, jika
dengan sarana "kimia kebahagiaan" tersebut ia meningkat dari tingkat hewan
ke tingkat malaikat. Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih buruk
dari orang-orang biadab yan gpasti musnah dan menjadi debu. Perlu baginya
untuk - bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan keunggulannya
sebagai makhluk terbaik - belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya,
karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang
Tuhan.

BAB 2 : Pengetahuan Tentang Tuhan
Sebuah hadits Nabi (SAW) yang terkenal berbunyi "Dia yang mengenal
dirinya, mengenal Allah." Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifatsifatnya,
manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi
karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan,
berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut.
Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini.
Salah satu di antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna
dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.
Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan
dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di
dalam al-Qur'an: "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apaapa?"
Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak
mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. Dari
sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak
menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut
sekalipun.
Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air
itu! Jadi, sebagaimana telah kita lihat pada bab pertama (Pengetahuan
Tentang Diri - pen.), dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai,
katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta.
Jika semu orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka
diperpanjang sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka
hasilkan perbaikan apa pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia.
Misalnya, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada pengunyahan
makanan, serta pada bangun lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan
kerongkongan untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak
bisa dibuat lebih baik lagi. Demikian pula seseorang yang merenungkan
tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama panjang - empat di antaranya
dengan tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua - serta
dengan cara bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing
atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin
kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah
dan aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.
Jika seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana beragam
keinginannya akan makanan, penginapan dan lain sebagainya,
pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari gudang penciptaan, ia pun
menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah sebesar kekuasaan dan kebijakan-
Nya, sebagaimaan Ia sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-
Ku." Dan menurut hadits Nabi (SAW), allah lebih lembut penciptaan dirinya
sendiri, manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan. Dari kerangka
tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah.
Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya,
10
ia mengetahui kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang diri
menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.
Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat Tuhan,
tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu wawasan
tentang bentuk kemaujudan Allah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, serta
berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas. Demikian
pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula
dihubungkan dengan keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk
membentuk suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa
kualitas, jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama terkaitkan
pula dengan konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit,
senang atau cinta. Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa
dimengerti oleh indera, sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya
adalah konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali
warna, tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita
membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati diri
kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa
ambil bagian. Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah
pengatur jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan
kualitas - mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan. Begitu pulalah
ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak
kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu bagian khusus
mana pun. Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi
tertempatkan di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa
kita lihat betapa benarnya hadits Nabi (SAW): "Allah menciptakan manusia di
dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Dan setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang esensi dari
sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan
bisa kita pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian kekuasaan
Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan
jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan
kecilnya sendiri. Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin
menulis nama Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru
kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata "Allah" tergambar di
dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang saluran syaraf dan
menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena. Dengan
demikian nama "Allah" terguratkan di atas kertas tepat sebagaimana
dibayangkan di dalam otak penulisnya. Demikian pula, jika Allah
menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran ruhaniah
yang di dalam al-Qur'an disebut sebagai "Singgasana" (al-'arsy). Dari
singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang
lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam
al-lauh 'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan kekuatan-kekuatan yang
disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan tampil di atas bumi dalam
bentuk tetanaman, pepohonan dan hewan-hewan, sebagai pencerminan
keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis
11
mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan bentuk yang hadir di
dalam otak sang penulis.
Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena
itu Tuhan telah menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang
raja dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan tiruan dari
kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara tidak terbatas. Di dalam kerajaan
manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril) oleh hati,
kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa - yang ia
sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi - mengatur jasad sebagaimana
Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada kita diamanatkan suatu kerajaan
kecil, dan kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.
Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah memelihara, ada banyak
tingkatan pengetahuan. Ahli fisika biasa, seperti seekor semut yang
merangkak di atas selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang
tersebar di atasnya, akan menunjukkan "sebab" hanya kepada pena saja.
Seorang astronom, seperti seekor semut dengan pandangan agak lebih luas,
bisa melihat jari-jari yang menggerakkan pena. Maksudnya, ia mengetahui
bahwa bintang-bintang berada di bawah kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi,
sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan mesti timbul
dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya tidak pernah
melihat ke balik dunia-gejala, adalah seperti orang-orang yang salah
menempatkan hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan
raja. Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada
sains dan sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba sebagai
majikan adalah suatu kesalahan besar.
Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para pengamat ini masih ada,
perdebatan memang mesti perlu berlanjut. Bagaikan beberapa orang buta
yang mendengar bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas pergi
menyelidikinya. Pengetahuan yang bisa mereka peroleh hanyalah lewat
indera perasaan, sehingga ketika seorang memegang kaki sang binatang,
yang satu lagi memegang gadingnya dan yang lain telinganya, dan, sesuai
dengan persepsi mereka masing-masing, mereka menyatakannya sebagai
suatu batangan, suatu tabung yang tebal dan suatu lapisan kapas, masingmasing
mengambil sebagian untuk menyatakan keseluruhannya. Jadi, sang
ahli fisika dan astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap
dengan Sang Penetap hukum-hukum. Kesalahan yang sama dilemparkan
kepada Ibrahim di dalam al-Qur'an yang meriwayatkan bahwa ia berturut-turut
berpaling kepada bintang-bintahg, bulan dan matahari sebagai obyek-obyek
penyembahan, sampai kemudian menjadi sadar tentang Dia yang membuat
segala sesuatu, Ibrahim pun berseru: "Saya tidak menyukai segala sesuatu
yang terbenam." (QS 6:76).
Kita memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang pengacuan kepada
sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada Sebab Pertama,
yaitu dalam persoalan apa yang disebut sebagai penyakit. Misalnya jika
seseorang kehilangan rasa tertariknya apda urusan duniawi, memiliki rasa
benci terhadap kesenangan-kesenangan umum, dan tampak tenggelam
dalam depresi, dokter akan berkata: "Ini adalah kasus melankoli yang
membutuhkan resep ini dan itu." Seorang ahli fisika akan berkata: "Ini adalah
persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak bisa
disembuhkan sampai udara menjadi lembab kembali." Sang ahli astrologi
akan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu planet-planet.
"Sejauh jangkauan kebijakan mereka," kata al-Qur'an. Tidak terbayangkan
oleh mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah seperti demikian:
bahwa Yang Maha Kuasa berkehendak mengurus kesejahteraan orang itu,
dan oleh karenanya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni planetplanet
atau unsur-unsur, agar menciptakan keadaan seperti itu di dalam diri
orang tersebut, sehingga ia bisa berpaling dari dunia ke arah Penciptanya.
Pengetahuan tentang kenyataan ini merupakan suatu mutiara yang
berkilauan dari lautan pengetahuan keilhaman, yang dibandingkan
dengannya, semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan pulau-pulau di
tengah laut.
Dokter, ahli fisika dan ahli astrologi tersebut, tak syak lagi memang benar
dalam cabang pengetahuan-khususnya masing-masing, tetapi mereka tidak
bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta yang
digunakanoleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada diri-Nya.
Tentang para wali ini Allah berfirman: "Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-
Ku." (ini hanya kiasan-pen). Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara
bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai
pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Ia lewat mulut nabi-Nya
(SAW): "Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan
dikenakan atas pilihan-Ku."
Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih dalam makna
seruan-seruan yang melekat di bibir orang-orang mukmin: "Subhanallah,
alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar." Mengenai yang terakhir, kita bisa
berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari penciptaan,
karena penciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya
adalah pengejawantahan matahari. Dan akan tidak benar kalau dikatakan
bahwa matahari lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti
bahwa kebesaran Allah sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan
bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak
sempurna tentang-Nya. Jika seorang anak meminta kita untuk menerangkan
padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan,
kita bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang
ia rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun
pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa
keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan. Jadi, seruan Allahu akbar
berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita.
Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti itu -
sebagaimana yang bisa kita peroleh - bukanlah sekadar suatu pengetahuan
spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan dan ibadah. Jika
seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika
kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita sama sekali
tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepadanya. Cinta adalah
benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan
oleh ibadah. Ibadan dan zikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan
suatu tingkat tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu
badaniah. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali
memusnahkan nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka
ras manusia akan musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti
dikenakan pada usaha pemuasannya. Dan karena manusia bukan hakim
yang terbaik dalam kasusnya sendiri, maka untuk menetapkan batasanbatasan
apa yang harus dikenakan itu sebaiknya ia konsultasikan masalah
tersebut kepada pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbingpembimbing
ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah
mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang
mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini. Orang yang melanggar batasbatas
ini berarti "telah menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di
dalam al-Qur'an. Meskipun pernyataan al-Qur'an ini telah jelas, masih ada
juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batasbatas
tersebut. Kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.
Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas
menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang penuh
keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian.
Mereka bagaikan seseoran gyang melihat suatu huruf yang tertulis dengan
indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa
ada penulisnya, atau memang sudah selalu ada. Orang-orang dengan cara
berpikir seamcam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan
mereka akan sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip seorang
ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di atas.
Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang
sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhrat, tempat manusia akan diminta
pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum. Mereka
anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada hewan-hewan
atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan
akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata kepada diri
mereka sendiri. "Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita
beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi
Dia." Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi
peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak,
apa urusannya dengan dokter itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa
terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat
ketidaktaatannya. Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati
berakhir dengan kematian jasad, begitu pula penyakit jiwa yang tak
tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan di masa datang. Sesuai
dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah
yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."
Keempat, adalah orang-orang kafir yang berkata: "Syariah mengajarkan
kepada kita untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas
tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan kualitas14
kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu
meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih." Orang-orang jahil itu
sama sekali buta akan kenyataan bawha syariah tidak mengajarkan kita untuk
mencerabut nafsu-nafsu ini, melainkan untuk meletakkan mereka di dalam
batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar, kita
bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan,
Nabi saw. berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah
seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis: "Allah mencintai orangorang
yang menahan amarahnya," bukan orang-orang yang tidak punya
marah sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya
mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Ya,
apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf." Mereka tidak berpikir
bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu manusia hancur secara
menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Mereka mengetahui bahwa
siapa saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran atau
kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan Maha Pemaaf," tetapi mesti
berusaha sendiri dengan keras. Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk
hidup rizkinya datang dari Allah," di sana tertulis pula: "Manusia tidak
mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha." Kenyataannya adalah:
ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang-orang seperti itu hanya
berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.
Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu
tingkat kesucian tertentu sehingga dosa tidak dapat lagi mempengaruhi
mereka. Meski demikian, jika anda perlakukan salah seorang di antara
mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap anda
selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak
mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan haknya, seluruh
dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara
mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya
hak untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi - jenis manusia
yang tertinggi - terus-menerus mengakui dan meratapi dosa-dosa mereka.
Beberapa di antara mereka mempunyai dosa yang sedemikian besar,
sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal. Pernah
diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari ketika sebutir koma dibawa
kepadanya, beliau tidak mau memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa
korma tersebut diperoleh secara halal. Sementara orang-orang yang
berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter anggur dan mengklaim
(saya menggigil pada saat menulis ini) sebagai lebih unggul dari Nabi yang
kesuciannya diancam oleh sebutir kurma, sementara mereka tidak
terpengaruh oleh anggur sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan
mereka ke dalam kehancuran total. Orang-orang suci sejati mengetahui
bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas disebut
sebagai seorang manusia. Dan bahwa seorang muslim sejati adalah orang
yang dengan senang hati mau mengakui batas-batas yang ditetapkan oleh
syariah. Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk mengabaikan
kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada dalam pengaruh setan dan
harus diajak berbicara tidak dengan sebatang pena, tapi dengan sebilah
pedang. Para penganut mistik palsu semacam ini kadang-kadang berpurapura
telah tenggelam di dalam lautan ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya
kepada mereka tentang apa yang mereka takjubkan, mereka tidak tahu.
Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi pada saat yang sama
agar mengingat bahwa Yang Maha Kuasa adalah penciptanya, dan bahwa
mereka adalah abdi-abdi-Nya.

Pengantar Singkat Tentang Tasawwuf (3/3)


Proses pencarian dan pencapaian dalam tasawwuf, seperti didefinisikan oleh Abu Bakar al Kattani itu, secara aplikatif telah dilalui oleh Imam Al Muhasiby dan imam Al Ghazali. Dalam kitabnya Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal imam Al Ghazali menulis:
"Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga saat ini, ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku selalu mengarungi lautan yang dalam ini. Dengan segala keberanian, menelusuri seluruh segi, dan mempelajari akidah semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia mazhab semuah firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk mengetahui kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali agar aku mengetahui hasil kezhahirihannya, juga tidak filsafat kecuali aku hendak mengetahui hakikat filsafatnya, dan tidak kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir kalam dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin mengetahui rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah kecuali aku ingin mengetahui hasil dari ibadahnya, juga tidak kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at kecuali untuk menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti itu" (1).
Setelah mengkaji sedemikian rupa seluruh firqah dan kecenderungan pemikiran tersebut, akhirnya Al Ghazali berkesimpulan: "Kemudian aku mengetahui dengan yakin, kaum sufi adalah mereka yang benar-benar menuju kepada Allah Swt. Perjalanan hidup mereka adalah yang paling baik. Metode mereka adalah yang paling lurus. Dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Bahkan, jika digabungkan intelektualitas kaum intelek, kebijaksanaan para bijak-bestari serta pengetahuan ahli tentang rahasia-rahasia syari'ah untuk merubah sedikit saja perjalanan hidup dan akhlak mereka, serta kemudian mengajukkan gantinya yang lebih baik, niscaya mereka tidak akan mampu" (2), (3).
Dengan pembelaan Al Ghazali itu, terutama usahanya menyatukan antara tasawwuf dengan fiqih, dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin", maka tasawwuf mendapatkan penerimaan yang demikian luas. Untuk kasus Indonesia, misalnya, mayoritas para kiyai yang mempunyai pondok besar dan mempunyai pengetahuan fiqih yang luas, juga menguasai tasawwuf. Walaupun pada sebagian orang hanya untuk dirinya sendiri. Tasawwuf kemudian menjadi salah satu rahasia kekuatan Islam. Baik dalam menyebarkan ajaran Islam secara damai, tanpa menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Wali Songo di Indonesia (4). Juga dalam mempertahankan ajaran Islam itu.
Dalam buku From Samarkand to Stornoway : Living Islam, Akbar S. Ahmad melukiskan, betapa dengan kekuatan tasawwuf itu, Islam mampu bertahan di negara-negara yang dianeksasi oleh Rusia yang komunis itu. Di bawah tekanan yang demikian hebat, antara lain orang yang ketahuan membaca Al Quran maupun melakukan shalat langsung masuk penjara, namun, dengan semangat dan ajaran tasawwuf, Islam mampu bertahan dalam tahun-tahun yang penuh penderitaan itu. Maka ketika negara-negara di Asia Tengah itu menemukan kemerdekaannya, wajah Islam segera menyembul kepermukaan. Seperti cendawan di musim hujan (5).
Dalam perjuangan mempertahankan Islam dengan kekuatan senjata, secara jelas peran itu terlihat pada tokoh-tokoh puncak kaum sufi. Mereka terlibat dalam banyak peperangan dan ikut serta di tengah kecamuk peperangan itu. Seperti Syaqiq al Balkhi, Hatim Al Asham, Abu Hasan Asy-Syazili yang turut serta dalam peperangan melawan tentara salib di Manshurah, walaupun matanya saat itu telah buta, juga Abdul Qadir al Jazairi serta Imam Muhammad Madli Abul Azaim, yang disebut terakhir turut berjuang untuk mengembalikan khilafah Islamiyyah paska dihapusnya kekhilafahan di Turki (6).
Dan bagi dunia modern sekarang ini, seperti diakui oleh Martin Van Bruninessen(7) dalam wawancaranya dengan majalah Amanah, kans tasawwuf untuk mengajukan dirinya kepada masyarakat modern amat besar. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, tasawwuf akan mampu menembus dan menundukkan Barat. Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Seyyed Hossein Nasr mengatakan, tasawwuf adalah inti kekuatan Islam. Ia adalah jantungnya Islam. Tasawwuflah yang dengan menjanjikkan dapat memberikan alternatif kepada masyarakat modern di Barat. Dan Rene Guenon, seorang sarjana Prancis yang kemudian mengganti namanya menjadi Syeikh Abdul Wahid Yahya, telah menggunakan kekuatan tasawwuf itu untuk menyebarkan Islam di seluruh penjuru dunia. Hingga gereja harus mengeluarkan keputusannya untuk melarang masyarakat membaca buku-bukunya. Tentu saja itu dilakukan gereja karena melihat pengaruh yang begitu besar dari buku-bukunya itu (8).
Tokh, dunia telah mengenalnya dan menikmati buku-bukunya, dan itu telah menggetarkan hati banyak orang Barat yang sedang mencari kebenaran. Pada tahun 1977, misalnya, di Oxford telah didirikan sebuah organisasi pengagum pemikiran Ibnu Arabi, The Muhyiddin Ibnu Arabi Society. Sejak 1982 organisasi ini telah menerbitkan sebuah jurnal, yang diberi nama Journal of the Muhyiddin Ibn 'Arabi Society. Organisasi ini secara berkala mengadakan Pertemuan Umum Tahunan dan Simposium Tahunan di tempat-tempat berbeda (9).
Kini Anda telah hadir di dunia ini. Anda juga telah mengenal wajah tasawwuf dalam arti yang sebenar-benarnya. Tujuan kehadiran Anda di dunia adalah menjalani titian rintangan, cobaan, dan karunia dan bahagia yang ada menuju tahapan demi tahapan ke sisi haribaan-Nya. Hanya Dia-lah yang kita tuju. Hanya kepada-Nya-lah hidup kita berserah. Hanya Dia-lah sumber cinta segala cinta kita.
Selamat mempelajari Tasawwuf!

Catatan:

1. Lihat:Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Al Munqiz Min 'dl-Dlalal, dalam majmu'at rasail Imam Al Ghazali,Darul Kutub al Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1409 H/1988 M, hal. 24-25.
2. Sca. hal. 62
3. Untuk contoh kontemporer proses seperti ini, dapat dibaca pada, Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Muhammad Ali Salamah Sirah wa Sarirah, Darul Iman wal Hayat, pengantar.
4. Lihat: Abdul Hayyie al Kattani, Ummat Islam Indonesia Sejarah Politik dan Peranannya 600-an --1945, MA Attaqwa, 1411 H/1991 M, hal 12-14
5. Lihat; Akbar S. Ahmad, From Samarkand to Stornoway: Living Islam, BBC Books Limited London, 1993, edisi Bahasa Indonesia, hal. 265-267.
6. Lihat: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Imam Al Azaim Al Mujaddid ash-Shufi, Darul Iman wal Hayat, Cairo, 1412 H/1992M, hal. 49-52.
7. Seorang peneliti Belanda, telah melakukan penelitian tentang tarikat Naqshabandi ke Asia tengah dan Indonesia. Salah bukunya tentang tasawwuf di Indonesia telah diterbitkan. Dan, setelah mempelajari Islam, terutama tasawwuf, ia dengan yakin mengucapkan syahadat.
8. Lihat: Al Madrasah Syaziliyyah, scn. 24, hal. 281 dst.
9. Lihat: Kautsar Azhari Noer, Ibn Al Arabi Wahdat al Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, cet. I, 1995, hal. xiv

Pengantar Singkat Tentang Tasawwuf (2/3)


Menurut Syeikh Abdul Halim Mahmud, terdapat banyak pendapat tentang dari mana akar kata tasawwuf diambil(1). Namun, menurutnya, pendapat yang paling kuat adalah pendapat mayoritas pakar tasawwuf, seperti Mushthafa Aburraziq, Dr. Zaki Mubarak, Orientalis Margoliouth, Louis Massignon dan lainnya. Yaitu, akar kata itu diambil dari kata "shuf"-bulu domba. Bahkan Mushtafa Abdurraziq dan Louis Massignon dengan tegas mengatakan, sebaiknya pendapat yang mengatakan bahwa akar kata tasawwuf bukan diambil dari kata itu, ditolak(2).
Namun, menurut Syekh Abdul Halim Mahmud, kata tasawwuf ini, pada perkembangan awalnya bukan digunakan untuk pengertian tasawwuf seperti yang kita ketahui sekarang. Tetapi, pada awalnya, digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang berpaling dari dunia. Yaitu para zahid dan ahli ibadah(3).
Dalam mendefinisikan tasawwuf secara terminologis, menurut Abdul Halim Mahmud lagi, juga terdapat banyak pendapat. Masing-masing orang mendefinisikannya sesuai dengan kecenderungan dan maqam yang dia telah capai. Basyar Al Hafi (w.227 H.) mengatakan, sufi adalah: Orang yang bersih hatinya (pembersihan jiwa), Abu Hafsh al Haddad (w. 265 H) mengatakan, tasawwuf adalah: Sempurnanya budi pekerti (metodologi Akhlaq), Abu Sa'id al Kharraz (w. 297 H) mengatakan: Sufi adalah orang yang hatinya disucikan oleh Rabb-nya, maka hatinya dipenuhi cahaya, dan orang yang menemukan kelezatan dalam berzikir kepada Allah. Sedangkan Al Junaid (w.297H) berkata, tasawwuf adalah: Orang yang dirinya dibersihkan oleh Allah, maka orang yang telah terbebaskan dari segala sesuatu selain Allah, ia adalah sufi. Dan banyak lagi definisi lainnya. Al Junaidi sendiri memberikan lebih dari sepuluh definisi bagi tasawwuf (4).
Namun, setelah melihat satu-persatu definisi tersebut, Syeikh Abdul Halim Mahmud berkesimpulan, definisi yang diberikan oleh Abu Bakar al Kattani (w. 322 H), adalah definisi yang paling tepat. Karena definisi itu menyatukan antara wasilah dan tujuan: Wasilahnya adalah penyucian diri, shafa; dan tujuannya adalah penyaksian, musyahadah.
Abu Bakar al Kattani mengatakan, tasawwuf adalah: Ash-Shafa wa 'l musyahadah --kesucian diri dan penyaksian". Dari definisi tersebut, dapat dikatakan dengan yakin, tasawwuf adalah pengejawantahan secara utuh firman Allah Swt.: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu ".(5)
Pensucian diri itu adalah sebuah metoda untuk kemudian mencapai kondisi seperti yang difirmankan oleh Allah Swt: "Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah" (6).
Dan tujuannya adalah menuju pencapaian seperti yang difirmankan oleh Allah SWT: "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)". (7) Dengan demikian, tujuan tasawwuf adalah menuju penyaksian: Asy-hadu an la ilaha Illa Allah - 'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah'" (8).
Lebih jauh, Dalam kitab Ash-Shafa wa 'l Ashfia, Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid berkata: "Tasawwuf adalah Islam itu sendiri. Dengan pengertian, Islam adalah kumpulan dari syari'ah, hukum dan perintah-perintah Allah Swt untuk seluruh umat manusia. Syari'ah dan hukum-hukum ini, Tidak akan bermanfaat bagi manusia kecuali jika ia melakukannya dengan ikhlas semata untuk Allah SWT. Sedangkan orang yang hanya mengatakan bahwa ia muslim, kemudian tidak menjalankan syari'at dan aturan-aturan Islam, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai muslim secara utuh. Rasulullah Saw bersabda: "Keimanan bukanlah sekadar angan-angan, namun ia adalah apa yang tertanam dalam hati, dan dibuktikan oleh amal perbuaan. Ada orang yang tertipu oleh angan-angannya dan merekapun tertipu dalam menghadapi Allah, sehingga mereka berkata: 'kami berbaik sangka kepada Allah' [Maksudnya: kami berbaik sangka kepada Allah, bahwa dengan keimanan kami kepada-Nya --tanpa dibuktikan amal kami-- Allah akan menyelamatkan kami dan memasukkan kami ke surga, pen].
Pada dasarnya mereka telah berdusta, karena jika mereka berbaik sangka kepada Allah, niscaya mereka akan beramal dengan baik pula". Dan sufi adalah orang yang menjalankan syari'at Islam dengan sempurna. Maka orang yang menjalankan syari'at Islam dengan sempurna adalah sufi. Karena tasawwuf adalah usaha untuk menjalankan segala kewajiban dari Allah SWT tersebut dengan segala keikhlasan hati serta bersih dari ria dan bangga diri untuk mencapai derajat shafa (kesucian diri)". (9)

Catatan:

1. Tentang hal ini, lihat: Abdul Halim Mahmud, Qadliyat tasawwuf: Al Munqizh min-a 'dl Dlalal, Darul Ma'arif, Cario, cet. II, hal. 34 dst. -- Ibnu Taimiyyah, As-Shufiyyah wa al Fuqara, Darul Fath, cet. I, Cairo, 1984, hal. 5 dst. --Louis Massignon & Dr. Mushthafa Abdurraziq, Al Islam wa Tasawwuf, Dar Sya'b, Cairo, 1399 H/1979M, hal. 14 dst. --Abu Bakar Muhammad al Kalabady, At-Ta'arruf Li Mazhab Ahli Tasawwuf, Maktabah Azhariyyah li Turats, cet. III, 1412 H/1992 M, hal. 26 dst.
2. Lihat, Al Islam wa Tasawwuf, sca.
3. Lihat, Qhadiyat Tasawwuf, scn. 21, hal. 35.
4. Lihat: Abdul Halim Mahmud, Qadliyat Tasawwuf: Madrasah Asy-Syaziliyyah, Darul Ma'arif, Cairo, cet.II, hal. 436.
5. QS. Asy-Syams: 9
6. QS. Al An'am: 162
7. QS. Ali 'Imran: 18
8. Scn. 24, hal. 438.
9. Lihat: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Ash-Shafa wa 'l Ashfia, Darul Iman Wa'l Hayat, Cairo, 1996, hal. 51-52.

Pengantar Singkat Tentang Tasawwuf (1/3)

Allah Swt berfirman: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu" (QS. Al A'raf: 172-173)
Ayat di atas dengan jelas mendeklarasikan, seluruh manusia pernah melihat dan berjumpa dengan Allah Swt. Bahkan berbicara kepada-Nya secara langsung. Pengalaman ini tertanam dalam sisi terdalam jiwa manusia, fitrah. Semuanya telah terpatri (built in) dalam bangunan diri setiap manusia, siapapun dia. Oleh karena itu, jika manusia di dunia ditanyakan siapa yang telah menciptakan langit dan bumi ini, secara spontan, sisi terdalam jiwa mereka itu akan menjawab: "Allah".
Dalam Al Quran, Allah Swt berfirman: "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah" (QS. Luqman: 25). Keindahan kebersamaan dan perjumpaan itu menjadi sesuatu yang terus mendorong mereka yang dianugerahkan berhati bersih, atau mereka yang kemudian dibukakan hatinya, untuk menggapainya kembali. Manusia, di dunia ini, berada dalam perpisahan sementara dan amat singkat, untuk kemudian kembali menghadap kepada-Nya. Atau dalam sabda Rasulullah Saw diungkapkan: Manusia di dunia ini tertidur, dan jika mati mereka baru terjaga. Tentang perjumpaan pada kesempatan pertama itu, Imam Abul 'Azaim bersenandung:
Sejak jaman "alastu" kami tak pernah melupakan * percakapan dan keindahan "Sang Indah" Gemerlapan. (Seperti dikutip oleh Syeikh Muhammad Ali Salamah, Ayyamullah, Cet. Strand al Haditsah, Cairo, 1985, hal. 17.)
Imam Ali k.w. pernah ditanya: Wahai amirul mu'minin, apakah Anda mengingat hari alastu birabbikum? Ia menjawab: "Ya, aku masih mengingatnya, dan aku mengingat siapa yang berada di samping kanan dan samping kiriku"!.
Pada suatu halaqah yang diadakan Al Muhasiby, seseorang bersenandung:

"Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan
Seperti perantau yang kesepian
Dan kini ku menyadari
Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan
Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada" (1)
Mendengar itu, Al Muhasiby segera berdiri dan terisak menangis, merindukan kampung halamannya yang abadi, yang disaksikan pada hari "alastu" itu.
Perjumpaan selanjutnya dengan Allah Swt akan terjadi dalam bentuk yang amat lain. Yaitu akan diikuti dengan perhitungan perbuatan selama perjalanan singkat di dunia ini. Apakah seseorang tetap ingat terhadap janjinya, atau malah kemudian dikalahkan sisi gelap dirinya: Nafsu yang melenakan dan melupakan serta selalu mengajak kepada keburukan; "Nafsu ammarah bissu". Hanya orang-orang yang selamat dari godaan itu dan membersihkan hatinya yang berhak kembali dengan selamat dan menikmati keindahan dan kebahagiaan yang pernah dirasakan itu. Dan Allah Swt akan menyambutkan dengan segala penyambutan: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS. Al Fajr: 28-30).
Untuk melakukan perjalanan sementara itu, Allah Swt tidak membiarkan manusia dalam kebutaan dan kegelapan, tanpa petunjuk jalan dan orang yang menuntun mereka. Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul untuk melakukan tugas itu. Memberikan tuntunan kepada manusia agar dapat kembali dengan selamat, menuju kampung halaman mereka. Hal itu berkali-kali telah diungkapkan oleh Al Quran, dan oleh Rasulullah Saw; telah diutus sebelum beliau nabi-nabi dan rasul-rasul untuk melakukan tugas itu (2), meskipun dengan syari'ah yang berbeda (QS. Al Maidah: 48), namun untuk tujuan yang sama (QS. An Nahl: 36). Para rasul adalah cahaya yang memancar bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah Swt (3,4). Mercu suar bagi manusia, sehingga mereka tidak tersesat mengarungi lautan hidup ini. Dan menerangi hati mereka, sehingga hati mereka bersih, suci dan mencapai alam malakut. Melepaskan diri dari kebinatangan mereka, untuk menuju sifat fithrah mereka yang mulia. Makhluk yang mendapatkan percikan cahaya ruh dari Allah SWT (5).
Allah SWT berfirman tentang pengutusan Rasulullah Saw: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab, Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (QS. Ali 'Imran: 164)
Dalam ayat di atas, secara eksplisit diungkapkan, selain menyampaikan ayat-ayat Allah, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, beliau juga diutus untuk membersihkan jiwa manusia. Mensucikan ruh mereka kembali dari debu kemusyrikan, kekerasan hati, penyakit-penyakit ruhani dan sebagainya. Dengan sukses, tugas itu beliau laksanakan, sehingga merubah orang-orang Arab yang keras dan paganis, menjadi sahabat-sahabat beliau yang Rabbani. Membentuk sebuah masyarakat yang --meminjam istilah Akbar S. Ahmad --ideal. Mencetak tokoh-tokoh seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali k.w. Dengan ciri-ciri antara lain, keadilan Umar yang tiada tara, sifat pemalu Utsman, kecerdasan Ali yang demikian rupa, kezuhudan Abu Dzar yang tanpa tanding, keluasan ilmu pengetahuan Mu'adz dan seterusnya(6). Malah, lebih jauh lagi, mereka mampu mencapai derajat-derajat yang telah dicapai oleh nabi-nabi dari Bani Israil, kecuali tidak ada kenabian setelah Nabi Saw. Rasulullah Saw. bersabda: "Sahabat-sahabatku seperti nabi-nabi Bani Israil"!. Hal ini, dalam sebuah sya'ir diungkapkan:
"Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia" (7)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda: "Kami para nabi-nabi tidak mewariskan apa-apa"(8). Dan pada hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda pula: "para ulama adalah pewaris nabi-nabi" (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dalam sahihnya dari hadits Abi Darda). Menyaksikan dua hadits ini, seakan ada kontradiksi dalam dua sabda beliau itu. Namun, jika kita teliti lebih mendalam, kita temukan sebuah pengertian; para nabi tidak mewarisi harta duniawi, tetapi mereka mewarisi risalah kenabian, dan para ulama-lah para pewaris itu. Rasulullah Saw. telah mencetak sahabat-sahabat beliau sebagai pemegang warisan risalah itu. Sehingga, ketika beliau meninggalkan dunia ini, menuju kampung halaman yang abadi di sisi Allah SWT, telah terbina sahabat-sahabat yang handal, dan menguasai tugas sebagai penyambung risalah itu, yaitu menyebarkan ilmu pengetahuan dan cahaya Ilahiyah. Ciri pengetahuan mereka amat khas, yaitu penguasaan literer dengan baik terhadap nash-nash yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. serta kehalusan ruhani yang tinggi pula. Misalnya, tentang Abu Bakar r.a. Rasulullah Saw bersabda, keutamaan Abu Bakar r.a. bukanlah karena banyaknya puasa yang ia lakukan, juga bukan karena banyaknya salat, meriwayatkan hadits, berfatwa atau berbicara, namun karena sesuatu yang tertanam dalam hatinya (Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi Al Hakim dalam Nawadir dari perkataan Abi Bakar bin Abdillah al Mazini. Tetapi Al Iraqi tidak mendapatkan redaksi ini sebagai hadits marfu').
Ulama atau fuqaha, pada masa kaum salaf, menurut Al Ghazali, adalah mereka yang menguasai ilmu-ilmu syari'ah secara literer, juga mereka yang menguasai ilmu akhirat atau ruhani(9). Ketika Sa'd bin Ibrahim ditanya: Siapa penduduk Madinah yang paling faqih? beliau menjawab: "Orang yang paling bertakwa kepada Allah Swt". Jawaban tersebut --menurut Al Ghazali--menunjukkan, kefaqihan seseorang ditentukan oleh pengetahuannya akan ilmu-ilmu akhirat dan rahasia kedalaman hati, apa yang merusak amal perbuatan, pengetahuan akan hinanya dunia, keinginan yang menggebu untuk mencapai akhirat dan mempunyai ketakutan yang tinggi kepada Allah Swt di dalam hatinya.
Dan hal itu tampak terwujudkan dalam diri fuqaha Islam generasi pertama, para sahabat, tabi'in dan imam-imam mazhab. Namun, menurut Al Ghazali, pada masa-masa selanjutnya, istilah ini berubah menjadi bentuk yang lain. Hingga hanya terbatas pada masalah-masalah hukum, fatwa dan kemampuan menghapal pendapat-pendapat tentang suatu masalah hukum.
Pada perkembangan selanjutnya, terutama ketika fiqih telah dikodifikasikan dan tidak ada tempat bagi ilmu ruhani tersebut dalam bab-bab fiqih itu, demikian juga hadits, tafsir dan ilmu-ilmu lainnya, dan masing-masing ilmu tersebut telah membentuk suatu konsep keilmuan tersendiri, maka para ulama yang mempunyai tanggungjawab terhadap warisan ruhaniah dari Rasulullah Saw tersebut, juga mengambil kebijaksaan yang sama: membentuk suatu konsep tersendiri tentang ilmu mereka.
Di kemudian hari, ilmu itu mereka namakan tasawwuf.

Catatan:

1. "Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan Seperti perantau yang kesepian Dan kini ku menyadari Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada." Lihat Abi Abdirrahman As-Sulami, Thabaqat Shufiyah, Mathabi' Sya'b, tahun 1380 H., halaman: 17, dan Abu Al Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Aly Al Anshary Asy-Syafi'i al Mashry, (Asy-Sya'rani), Thabaqat al Kubra, Darul Jail, Bairut, 1408 H/1988M, Juz I, hal. 75.
2. Lihat: QS. Al Baqarah: 87, 253; Ali Imran: 144, 183, 184; An Nisa: 165 dst.
3. Lihat: QS. Al Maidah: 15, dan ayat-ayat sejenisnya..
4. Tentang hal ini, dapat dibaca lebih lanjut pada: Syeikh Muhammad Madli Abul Aza'im, Islam dinullah wa fithratuhu 'l lati fathara 'n nasa 'alaiha, Dar Madinah Munawwarah, cet.II, 1401 H/1980 M, hal. 79 dst.
5. Lihat: QS. Al Hajar: 29, dan ayat-ayat sejenisnya.
6. Lihat: Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Nafahat Min Nur Al Quran, Juz 1, Strand Al Haditsah, 1994, Cairo, hal:30.
7. "Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia". Lihat catatan di atas.
8. Berdasarkan hadits ini, maka Abu Bakar r.a. tidak memberikan tanah Fadak kepada Fathimah r.a., karena dengan demikian berarti, secara otomatis harta Rasulullah Saw menjadi milik umat.
9. Lihat, Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1, Darul Hadits, Cairo,1992, hal. 57

Tuesday, May 24, 2011

SIKAP ISLAM TENTANG SYAIR



1.Sikaf Alqur’an tentang Syair
Sebagaimana yang kita ketahui di dalam Alqur’an terdapat kosa-kata الشعر (syair), الشا عر (penyair) dan الشعراء (para penyair). Kata-kata syi’ri (syair) di sebut satu kali di dalam konteks menjelaskan bahwasanya Allah swt tidak pernah mengajarkan syair kepada Rasulullah saw,Dan ayat tersebut juga menjelaskan tidak layaknya Rasullah sebagai penyair ,sebagaimana firman Allah di dalm Alqur’an :
Artinya:(69)Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya(Muhammad) dan bersyair itu tidak pantas baginya,Al qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang member penerangan  .(1)[1]
Imam Ibnu Kasyir di dalam tafsirnya menjelaskn bahwa kalimat  وما ينبغي له  (Dan bersyair itu tidak pantas bagi Raulullah saw) maksudnya :Bahwa bersyair  bagi Rasullullah bukan tabiatnya dan bukan pula karakteristiknya.
Imam Abu Zar’atirrazi mengatakan:Tiada keturunan Abdul Muttalib di lahirkan melainkan  ahli dalam bersyair  kecuali  Baginda Rasulullah saw.
Di dalam Surat Atthur Allah menceritakannya tentang  penghinaan  orang-orang yang keras kepala kepada Rasulullah SAW,sebagaimana firman Allah di dalam Alqur’an yang artinya:’
. ‘’(30)Bahkan mereka mengatakan ‘’dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya’’
Terdapat kata-kata الشا عر (penyair) empat kali di sebut di dalam Surat Al-Ambiya’ yang mana ayat tersebut menjelaskan dan menceritakan perkataan orang kafir kepada Al-Qur’an  dan menceritakan tentang tuduhan orang –orang yang keras kepala kepada Nabi Muhammad SAW.Tentang hal ini Allah befirman dalam  Al-Qur’an:
Artinya(5)Bahkan Mereka berkata pula “(Alqur’an itu adalah)Mimpi-mimpi yang kalut malah di ada-adakan,bahkan dia sendiri seorang penyair,maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu Mu’jizat sebagaimana Rasul-rasul yang telah lalu di utus.(2)[2]
Di dalam Surat Al-Haqqah terdapat  penafian (peniadaan) makna atau  bentuk dan sifat kalimat Alqur’an itu bukan syair dan ayat tersebut juga menjelaskan bahwa baginda Rasulullah bukan seoran penyair.
Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:                                                                                
‘’(40)Sesungguhnya Alqu’an itu adalah benar-benar wahyu(Allah yang di turunkan)kepada Rasul  yang mulia,(41)Alqur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair,(42)Dan bukan pula perkataan tukang tenung.(43)Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran kepadanya.’’(5)[3]
Ayat tersebut  menjelaskan  tentang penafian dokrin bagi orang yang mengatakan bahwa Alqur’an  itu  syair,dan ayat itu juga menerangankan tentang Baginda Rasulullah saw. bukanlah  seorang penyair,bukanpula soarang tukang tenung.Dan perlu anda ketahui ayat-ayat tersebut diatas   bukan menjelaskan tentang hukum  secara lizatihi,melainkan ayat-ayat itu menunjukkan  bahwa Al-Qur’an itu  lebih indah maknanya dan kata-katanya lebih ijaz dari syair,dan juga Alqur’an  itu lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya di bandingkan dengan  syair.bukan itu saja Alqur’an lebih agung dari segala sesuatu yang ada di dunia pana ini.
Dan adapun kata الشعراء (para penyair) terdapat dalam Surat Assuara’a Ayat 224-227 yang artinya sebagai berikut:
(224)Penyair-penyair  itu di ikuti oleh orang-orang sesat.(225)Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka  mengembara di tiap –tiap lembah. (226)Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri  tidak  mampu mengerjakannya ,kecuali orang-orang beriman dan beramal soleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman,Dan kelak orang yang zalim itu akan mengetahui  ketempat mana mereka kembali.(1)[4]
Dan ayat tersebut di atas kita ketahui sebagian kelompok penyair arab dahulu membiasakan dirinya menghiasi keburukan,kejelekaan  dan kebohongan  dengan untaian kata-katanya  yang baik lagi indah,sehingga nampak keburukan itu baik,dan kejelekan itu kelihatan   indah dan juga kebohongan itu seakan-akan benar,sehingga setiap orang yang mendengar perkataannya  terhipnotis,terpukau dan terbuai dengan syair-syairnya  itu.
Azzujaj mengatakan:’’Sesungguhnya penyair itu  apabila menghina  dan mengejek apa yang tidak di perbolehkan ,maka mereka itu termasuk golongan yang menyesatkan’’.
Demikian juga apabila memuji dengan berlebihan maksudnya pujiannya terlalu jauh dari kenyataan,itu juga termasuk kaum yang menyesatkan,Kamudian Allah menyifati para penyair dengan firmannya:’’Bahwa mereka mengembala di tiap-tiap lembah’’.Dalam hal ini Ibnu Abbas berkata:’’Setiap perkataan yang tidak berguna ,itu termasuk menjerumuskan orang ke lembah kebohongan.Dan Imam Hasan Basri mengatakan:’’ Demi Allah tiada saya melihat para penyair kecuali  mencaci maki orang dengan kata-katanya,dan tiada saya melihat para penyair kecuali memuji  alias lebai dengan syair-syairnya.Dan firman Allah swt.yang artinya :Dan sesungguhnya mereka mengatakan apa yang mereka tidak kerjakan.maksudnya “Mereka selalu berbohong dengan syairnya”.
Dan sifat para penyair tersebut sebagaimana yang kita ketahui bukan maksud secara maknawi,bukan menjelaskan tentang hukum boleh atau tidaknya syair,tetapi ayat tersebut memaparkan dan menjelaskan tentang pembelaan Allah terhadap kitabnya dan Rasulnya,dan ayat itu juga menjelaskan mulianya Alqur’an dan Rasulnya dari pekerjaan Tukang Tenung,Penyihir dan Penyair.
Oleh karena itu Ibnu Kasyir menafsirkan ayat tersebut:’’Sesungguhnya Allah menurunkan Alqur’an bukanlah perkataan Tukang Tenung dan bukan pula seorang penyair ,melainkan untuk menghapus dan menghilangkan semua dokrin itu’’.
Ayat 224 menjelaskan para Penyair tidak semua sesat,tetapi ayat tersebut menjelaskan sebagian kelompok  para penyair  yang menyeru  kepada hal-hal yang negatif,Kamudian di  lanjutkan dengan ayat 227,Nah ayat ini menjelaskan bahwa bukan semua para penyair  tersesat ,tapi  yang  di maksud  dengan orang-orang sesat itu identik dengan kelompok pertama yaitu orang-orang Mekkah yang kafir yang mana ketika itu menghina dan mencaci maki Rasulullah dengan syair-syairnya,Dan waktu itu juga  kebanyakan para penyair belum masuk  islam.Dan kelompok kedua yaitu kaum Anshor maksudnya penyair Madinah
Yang mana para penyair ini membela Rasulullah dengan syair-syairnya dan meninggikan agamanya  dengan untaian kata-katanya,misalnya dalam perang supaya  pasukan muslim bersemangat dan berkobar  jiwanya ketika berhadapan dengan musuh,para penyair membuat syair Hamasah(syair pembakar jiwa) dan masih banyak contoh syair yang lain yang akan di jelaskan panjang lebar pada Sikaf Rasulullah tentang Syair.
Kesimpulan ayat di atas menjelaskan tentang penghinaan Al-Qur’an terhadap para penyair yang menjerumuskan manusia kejalan yang batil dan para penyair yang suka bersilat lidah alias  berbohong dengan syair-syairnya.Dan adapun para penyair yang menyeru kepada Amar Ma’ruf Nahi Munkar,maka penyair yang kayak ini tidak di haramkan melainkan di anjurkan.
2.Sikaf Rasulullah saw. tentang Syair.
Kita bisa menemukan Sikaf  Rasulullah tentang  syair begitu banyak bentuk apresiasinya terhadap syair,sabagaimana yang kita ketahui pada umumnya Rasulullah memperbolehkan mendendangkan syair dan mendengarkannya .Dan dari bentuk sikap apresiasinya terhadap syair baik berupa pujian dan kekaguman beliau kepada seorang penyair.Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah  dari Rasulullah saw. bersabda:’’Paling benar kalimat yang di lantunkan orang Arab yaitu syair Lubaid yang mengatakan:
الا كل شيء ما خلا الله با طل              وكل نعيم لا محا لة زا ئل
Ketahuilah semua sesuatu apa yang selain Allah adalah batil,Dan segala  macam bentuk nikmat tiada yang abadi .(1)[5]
Dan begitu juga ketika Rasulullah saw.  dalam majelis sahabatnya sebagaimana yang di riwayatkan oleh Imam  Attirmizi dari jabir bin Samarah Semoga Allah meridhoinya,Jabir Bin Samarah berkata:’’Saya duduk bersama Rasulullah saw lebih dari seratus kali ,maka ketika para sahabatnya mendendangan sebuah syair dan Waktu itu para sahabat   berdiskusi tentang masalah-masalah atau perkara-perkara pada zaman jahiliyyah,sementara Rasululluh dalam keadaan diam dan sekali –kali simpul senyum beliau mengembang  bersama para sahabatnya.
Dan sering juga Rasulullah saw. memberikan hadiah dan berdoa kepada sebagian penyair yang membuat beliau kagum dengan makna syairn-syairnya.Terbukti ketika para sahabat mendendangkan bait-bait syairnya di depan beliau ,Rasulullah membalasnya  kadang-kadang dengan mendoakan mereka supaya masuk syurga, seperti yang pernah terjadi kepada Hasan dan Nabighoh Al-Jahdy ketika membacakan Baginda Nabi saw. bait-bait syairnya,kamudian beliau membalasnya dengan mendoakan keduanya supaya masuk Syurga,Dan kadang-kadang juga beliau memberikan Hadiah kepada sebagian sahabatnya  seperti Kaab Bin Zuhair dan Hasan Sirin saudari dari Mariah Qibtiyah.
Baginda Rasulullah saw bukan saja mendoakan,dan memberikan hadiah kepada para sehabat yang membacakan beliau syair, melainkan juga memberikan semangat,motifasi  dan dukungan moril supaya mereka bisa membuat syair yang syarat  maknanya dengan nilai-nilai da’wa yang mendorong umat supaya semakin giat mengerjakan kebajikan,dan kadang –kadang beliau juga menambahkan dengan kata-katanya yang mengatakan:’
عميرة ودع ان تجهزت غا ديا                                     كفي الشيب و الأسلا م نا هيا
’Tinggalkan  Umaira’ jika kamu telah betul-betul siap untuk pergi dan cukuplah ketuan dan islam itu sebagai larangannya’’.
Dan perkataan yang lain juga seperti perkataan Torpah:
ستبد ئ لك الأ يا م ما كنت جا هلا                                   و يأ تيك بالاخبا رما لم تزود
‘’Dan akan tiba pada suatu hari yang kamu sendiri tidak mengetahuinya,Dan akan datang kepadamu  berita yang kamu tidak sangka-sangka  akan datang kepadamu.
Asli Redaksi dari Baginda Nabi saw seperti ويأ تيك ما لم تزود با لأخبا ر kamudian penyair merubah susunannya sesuai dengan wazan yang di inginkan oleh seorang penyair ,seperti wazan syair di atas.
Berbagai bentuk apresiasinya Baginda Rasulullah saw. terhadap para penyair menunjukan bahwa rasulullah membolehkan melantunkan ,mendendangkan dan mendengar syair bahkan bisa   menjadi mustahabbun( di sunnatkan) membaca dan mendendangkan sebuah syair jika isi kandungannya  mengajak untuk mencari keridhoan Allah  dan Rasulnya.
Sikaf  Rasulullah saw.  di atas menunjukkan  Bahwa beliau membolehkan dan menganjurkan dan memberikan motivasi kepada para penyair yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan dan Baginda Nabi saw. juga membenci dan melarang keras para penyair yang menyeru kepada kebatilan.
Dari apa yang  telah lewat tentang sikaf orang Islam terhadap syair dapat di simpulkan   menjadi beberapa perkara sebagaimana yang tersebut di bawah ini:
1.      [6]Sesungguhnya islam tidak mengharamkan syair,dan tidak pula mencegahnya, akan tetapi islam meluruskan manhajnya,sebagaimana  Islam memperbaiki dan membenarkan seluruh aspek kehidupan.
2.      Diperbolehkannya syair dari perkataan Al-Hasan bin Tsabit, untuk mendengarkannya dan menirunya selama tidak membuat kita lalai dari hal-hal yang pardu( wajib) dan hal-hal yang mustahabbun( yang di sunnatkan) dalam syariat Islam.
3.      Dibolehkan Syair dari perkataan Hasan bin tsabit di baca dan di dendangkan dan menndengarkanya didalam Masjid yang mana tatkala itu yang mendengar Rasulullah dan Sahabat-sahabatnya.
4.      Bolehnya meriwayatkan syair Jahily dalam rangka belajar atau untuk memperdalam bahasa supaya bahasa arabnya lebih taammuq(mendalam) dan boleh juga menggali Syair-syair Jahily  untuk memahami makna  tafsir bilayat secara mendalam yang ada di dalam Alqur’an sebagaimana yang di katakan oleh  ibnu Abbas:’’jika kamu membaca sesuatu dari kitabullah lalu kamu tidak menemukan maknanya,maka carilah maknanya pada  syair-syair Arab’’.
5.      Mempermudah di dalam memuji orang yang jujur yang tidak ada padanya sifat-sifat munafiq ,sebagaimana Zuhair memuji Sayyidina Umar bin Khatab dan yang mana pujiannya  tidak jauh keluar dari kenyataannya.dan Zuhair juga telah memuji Rasulullah berapa kali dengan syair –syairnya dan Rasulullah membenarkan semua pujiannya  itu.
6.      Bolehnya menyiarkan dan memamerkan keburukan itu dengan syairnya bagi orang-orang yang terzalimi.
sebagaimana firman Allah swt :
لا يحب الله الجهر بالسو ء من القو ل ألا من ظلم
Artinya:’’Allah tidak suka menampakan keburukan seorang dengar perkataannya kecuali perkataan orang-orang yang terzalimi’’.
7.      Bolehnya membalas kebaikan dengan kata-kata yang baik dan boleh juga membalas kejelekan seseorang dengan perkataan yang jelek .



REFERENSI
1.      Adab Jahily pada masa islam dan Bani Umayyah Tingkat dua Kuliah Lughoh jurusan Ammah,pengarang DR.M:Abdurrahman Abdu Zohir Dan pengajar Al-Ustadz DR.Zakariya Abdul Majid Annuty
2.      Pasal Empat  موقف الأ سلا م من الشعر )Sikaf islam tentang Syair) halaman 73-92.


[1] .Surat Yasin ayat 69.

[2] .Surat Al-Ambiya’ ayat 5.

[3] Surat Alhaqqah ayat 40-43.

[4] .Surat Assyuara’ ayat 224-227.

[5] .Sahih Muslim yang di sarahkan oleh Imam Nawawi 12/15

[6] .Sirah Balaghohubbi dan syair sayyid 11-1

الكا تب : نا صر ين
كلية: اللغة العر بية با لقا هرة
الفر قة: الثا ني
الشعبة: العا مة
الجنسية: الأندو نيسي

ESTETIKA HADIS DARI SEGI BALAGHOH




Hadis dikategorikan  sumber pokok dan rujukan kedua dari syariat Islam setelah Al-Qur’an yaitu wahyu Allah yang di turunkan kepada Nabi saw.melalui perantara Malaikat Jibril ,sehingga di beberapa problem Hadis tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan dari Al-Qur’an.Karena Hadis mentafsilkan(menerangkan dengan rinci ) Al-Qur’an yang teks dan keterangannya bersifat global ,mentakyid (membatasi) Al-Qur’an yg bersifat mutlak  dan Hadis juga menghapus hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.
Hadis  bukan rekayasa belaka ,Hadis juga bukan  perkataan tukang Sihir  dan bukanpula perkataan orang Gila melainkan wahyu dari Allah swt.karena mustahil Rasulullah saw.bisa memaparkan dan menjelaskan tentang kaifiyat sholat,zakat,dan haji secara lugas dan gamblang melainkan ada petunjuk ,mubasyirat dan bimbingan dari Allah swt.Sebagaimana yang kita ketahui bahwa wahyu Allah swt. Di bagi menjadi beberapa bagian diantaranya:
  1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah  wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi saw.baik lafaz dan Maknanya dari Allah.’’
  1. Hadis Qudsi
Hadis Qudsi adalah  wahyu Allah swt.yang di turunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi saw, dengan Maknanya dari Allah  dan lafaznya  dari beliau Rasulullah saw.
  1. Hadis
Hadis adalah wahyu Allah swt.yang di turunkan langsung kepada Nabi saw.melalui Ilham.Mubasyirat dan petunjuknya dan juga lafaz dan maknanya dari baginda Rasulullah saw.
Begitu juga Rasulullah saw.menyampaikan baik dengan perkataan ,perbuatan dan penetapan berdasarkan petunjuk Allah swt.sehingga beliau pantas dan layak di sebut  Al-qur’an berjalan,karena semua tindak- tanduknya berdasarkan Al-Qur’an.sehingga baginda Rasulullah saw.berkewajiban menyampaikan wahyu Allah kepada ummatnya,sebagaimna firman Allah swt yang artinya:’’ 48.[1] Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).
Dan juga firman Allah swt.yang artinya: 20[2]. Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam." Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
Secara lahiriyah sesungguhnya Hadis  Nabi saw.maksudnya, bahwa Hadis itu adalah hikmah dan intisari dari Al-Qur’an,karena sesungguhnya ’Hadis Nabi saw.adalah wahyu Allah yang di turunkan langsung  kepada Nabi saw.melalui Ilham.Mubasyhiirat dan Petunjuknya sebagaimana firman Allah yang artinya:(129) Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.(1)[3] 
Dan firman Allah  juga yang artinya: ‘(239)’Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’’(2)[4]
Dan ada sebuah Hadis Nabi saw.yang mengatakan bahwa Hadis adalah wahyu Allah swt sebagaimana  sabda Rasulullah saw.
ألا اني أوتيت الكتاب و مثله معه 
‘’Ketahuilah sesungguhnya aku telah diberikan kitab (Al-Qur’an)dan seperti Al-Qur’an itu berupa Hadis.’’
Dan ada juga perkataan Hasan bin Attiyah semoga Allah meridhoinya :Jibril alaissalam menurunkan Sunnah kepada Nabi saw.sebagaimana Jibril menurunkan  wahyu Al-Qur’an kepadanya,lalu Jibril mengajarkan sunnah kepadanya sebagaimana Rasulullah saw.di ajarkan wahyu Al-Qur’an kepadanya.(3)[5]
Akan tetapi sebagian apa yang datang dari Nabi saw.bukanlah wahyu dengan dalil yang di ambil oleh Alhabab Ibnu Munzir pada  perang badar ,ketika itu Rasulullah saw.mengisyaratkan kepada Abu Bakar Assidik dan Umar bin Khatab supaya tawanan perang badar itu,jika tawanan itu tidak ada diyatnya(ditebus) maka tawanan itu menjadi budaknya,maka ketika itu Allah swt. langsung menegur kebijakanya terhadap tawanan tersebut .Dan juga ketika Rasulullah saw.menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar masuk islam,dalam waktu itu datanglah Ibnu Ummi Maktum,seorang sahabat yang buta yang mengharap agar Rasulullah saw.membacakan kepadanya Ayat-ayat Al-Qur’an yang di turunkan Allah,Tetapi Rasulullah saw. bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Maktum yang buta itu,lalu Allah menurunkan surah ‘Abasa  sebagai teguran atas sikap beliau terhadap Ibnu Maktum .
Nah dari sini kita ketahui ,jika ada sikap Rasulullah saw,yang kurang bijaksana di sisi Allah swt.Allah langsung membimbingnya kejalan yang lurus karena Nabi saw.dipelihara dan terjaga dari perbuatan yang tak terpuji.Dan beliau juga ma’sum(terpelihara)dari dosa karena semua tindak -tanduknya atas petunjuk dan bimbingan Allah,tapi kita sebagai Ummatnya tidak boleh mengatakan Nabi saw.pernah berbuat hal-hal yang tak terpuji kepada Ummatnya,karena Allah dan Nabi mengajarkan kita untuk beradap dan beretika di dalam berbahasa  ,karena apa yang di lakukan Rasulullah saw.tidak salah  disisi manusia,tapi kurang bijaksana disisi Allah.karena Allah mengutus Nabi saw.sebagai pemuka para Nabi dan juga diutus sebagai Nabi terakhir.oleh karena itu Allah menganjurkan kita  untuk mengikut apa saja anjurannya dan menjauhi segala  laranganya,sebagaimana firman Allah yang mengatakan:
وما أ تا كم الر سو ل فخذوه وما نها كم عنه فا نتهوا
Artinya:
‘(7)’Apa yang diberikan Rasul kepadamu,maka terimalah,dan apa yang dilarang bagimu,maka tinggalkanlah.’’(1)[6]
Ketahuilah walaupun hakikatnya Hadis dari sisi Allah swt..bukanlah seperti Al-Qur’an,karena sesungguhnya Al-Qur’an turun dengan lafaz dan maknanya,maka inilah yang di sebut dengan Kalam Allah,Adapun Hadis diturunkan Allah swt.diturunkannya dengan makna tampa lafaznya.Al-Qur’an adalah Mu’jizat sedangkan Hadis bukanlah Mu’jizat,Al-Qur’an tidak boleh dirawikan dengan Makna,tetapi Hadis boleh dirawikan dengan makna,Al-Qur’an mendapat pahala membaca setiap huruf-hurufnya ,Dan diwajibkan membaca sebagian dari Ayat Al-Qur’an didalam sholat,Sedangkan Hadis selain itu.
Sesungguhnya balaghoh Hadis tidak bisa menyandingi balaghoh Al-Qur’an ,tetapi Hadis dikatagorikan derajat tertinggi Balaghoh Basyariyyah(manusia),Dan tingkatan tertinggi Pashohah Insaniah(bahasa arab yang pasih),oleh karena itulah kepasihan dan Bayan beliau dikatagorikan sebagai elemen dan unsur terpenting yang bisa kita lihat dan amati betapa tinggi dan mulia Risalah yang beliau bawa kepada ummatnya.Jika tidak ada Rasulullah saw.yang balig lagi pasih ,maka niscaya tidak ada seorangpun yang mampu menyampaikan Risalah Tuhannya yang begitu agung,berdasarkan bentuk yang dikehendaki dan diridoinya.
Berdasarkan istiqroi(penelitian) Para Ulama Balaghoh dari Hadis-Hadis beliau kita bisa menemukan berapa benyak bentuk-bentuk Balaghoh yang terkandung di dalamnya :
  1. Keindahan Teks dan keserasian Maknanya.
Beberapa banyak teks didalam hadis Nabi saw.sebagaimna yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
أ رأيت لو أن النهر بباب أحدكم يغتسل فيه كل يوم خمس مرات هل يبقي من دون شيئ , قا لو لا يبقي من دونه شيئ , قا ل فكذا لك مثل الصاوات الخمس يمحو ألله بهن الخطا يا.
Artinya”  Tahukah kamu, apabila ada sungai di depan pintu (rumah) seseorang kamu, dia mandi padanya lima kali dalam sehari ,apakah ada sesuatu yang tersisa darinya.mereka mengatakan:Tidak ada yang tersisa darinya sesuatu.beliau berkata:demikian juga sholat  fardu yang dikerjakan lima kali sehari,maka Allah mengampuni semua kesalahannya .’’  
ini termasuk perumpamaan orang yang selalu melaksanakan dengan terus-menerus Sholat Fardu,seperti perumpamaan Air yang suci yang menghilangkan kotoran dengan terus menerus di basuh,maka demikian juga solawat  fardu  mambersihkan manusia dari semua kesalahannya.”
Dan Rasulullah Bersabda:
محذ را أ صا به من الدنيا وزخر فها  
‘’Memperingati sahabat-sahabatnya dari dunia dan hiasanya.’’
Menunjukkan untuk hidup zuhud(sedarhana) Didalam dunia pana ini.
Dan beliau juga bersabda:
ليكن بلا غ أحد كزاد  الراكب
‘’Hendaknya seseorang itu sampai kepada tujuan seperti bekal orang berkendaraan.’’(1)[7]
Ini menunjukkan supaya didalam kehidupan ini cukup dengan apa adanya, sekedar bisa bertahan hidup sampai berakhir waktu yang ditentukan,karena kehidupan didunia ini takkan abadi selamanya,seperti musafir yang tak punya bekal kecuali sekedar mencukupi untuk sampai ketujunnya.
  1. Keindahan Pribahasanya.
Kebanyakan Pribahasa atau pepatahnya untuk semua manusia   pada setiap zaman dan tempat seperti pepatahnya :
أ يا كم و خضر اء الدمن 
Maksudnya menunjukan para perempuan yang mengerjakan kejelekan.
Dan juga Pribahasanya yang mengatakan:
لا يلسع المؤ من من حجر مر تين
Artinya:’’Orang Mu’min tidak boleh jatuh dua kali pada satu lubang’’.
Maksud adalah orang Mu’min yang telah tertipu dan terperangkap kejurangan kebinasaan tidak boleh jatuh lagi untuk kedua kalinya untuk tergoda dan tergiring kedalamnya.karena Nabi kita mengajarkan supaya menjadikan masa lalu kita yang kelam sebagai pelajaran buat masa depan,supaya hidup kita lebih baik dan berarti.
  1. Sedarhana  didalam menguraikan perkataannya dan mudah dipahami.
Kata-kata yang di gunakan Baginda Rasulullah saw.lugas, benci yang memberatkan pendengarnya,tidak tasannu’(mengada-ngada/membuat-buat)Dan sunyi kalamnya dari bahasa yang liar,asing dan membosankan,tetapi jika ada kata-kata yang kita temukan didalam Hadis beliau yang asing,lagi sulit dipahami bagi kita dizaman modoren ini,bukan karena beliau tak lugas didalam berbahasa dan bukan juga karena beliau tidak pasih didalam mengucapkan dan menguraikan kata-katanya,tetapi tidak lain karena kejahilan kita sendiri, karena kata yang kita anggap sulit, bagi sahabat Nabi kita tidak asing lagi karena kata-kata tersebut sudah ma’lum,misalnya seperti perkataan beliau yang mengatakan:
أ بغضكم أ لي الثرثا رون ألمتفيهقون
Artinya :’’orang paling dibenci oleh Rasul dari kalian adalah karena  banyak bicara yang berlebihan(tampa kontrol).’’
Maksudnya Assarsarun(orang-orang yang Banyak bicara),dan Almutapaihaqun(orang-orang membuka mulutnya),Arti dari lafaz-lafaz tersebut ,bahwa Rasulullahsawmembenci setiap orang yang banyak membicarakan sesuatu yang tak bepaidah dan berguna ,karena hal tersebut menyia-nyiakan waktu.
  1. Hijaz(perkataan yang ringkas,tapi maknanya luas).
Keindahan bahasa beliau juga adalah Hijaz yang di maksud dengan hijaz adalah kalimat yang sedikit tapi makna luas lebih baik daripada kalimat yang banyak tapi bertele-tele.Dan terdapat banyak Hadis yang yang mengandung HIjaz diantaranya:
أن الدنيا حلوة خضر ة 
’Sesungguhnya dunia itu Manis dan Hijau.’’

اليد العليا خير من اليد السفلي
’ Tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah.

الغناء غني النفس
‘’Kaya itu adalah kayak hati’’.

الند م توبة
‘’orang yang menyesal adalah orang yang bertobat’’.

السفر قطعة من العذ ا ب
’Musafir itu adalah sebagian dari Azab.’’
  1. Kinayah yang Indah.
Kinayah adalah lafaz sindiran yang menginginkan makna sebenarnya.Dan kita bisa menemukan banyak kinayah yang diucapkan oleh baginda Nabi saw.diantaranya.
حمي الوطيس
‘’Kinayah dari orang yang Ganas dan kejam didalam berperang.’’
عريض الو سا د ه
Kinayah dari orang yang bodoh.
Dan masih banyak contok pribahasa yang tak bisa sebut satu -persatu.
  1. Diksi Yang gunakan tepat didalam memilih kata dan Nama.
Adapun didalam beliau memilih kata-kata yang tepat ,baik,indah dan seni terdapat banyak contok di Hadis Nabi saw.diantara didalam kitab Sahih Muslim  Rasulullah bersabda:
لا يقو لن أحد كم عبدي و أمتي كلكم عبيد الله, و كل نسائكم أ ما ء الله , و لكن ليقل غلا مي و جا ريتي و فتا ي و فتا تي
‘’Janganlah seorang dari kalian mengatakan عبدي (Wahai Budakku yang laki-laki) dan أمتي (Wahai Budakku yang perempuan) karena semua kalian dalah Hamba Allah.Dan semua para perempuan adalah Hamba Allah, sebaiknya supaya mengatakan Ya gulami (wahai pembantuku laki-laki),Ya jariati (pembantuku perempuan),Yapataya(pemudaku ),dan Yapatati(wahai gadisku).’’
Dan Nabi saw.juga bersabda:
لا يقولن أ حد كم عبدي فكلكم عبيد الله , و لكن ليقل فتا ي , ولا يقل عبد ربي ولكن ليقل سيدي
‘’ Janganlah seseorang kamu berkata, 'abdi (hambaku), karena kamu semua adalah hamba-hamba Allah, tetapi katakanlah, Fataya ( pemudaku). Dan janganlah seorang budak berkata (kepada tuannya ) : Rabbi ( Pemeliharaku/pemiliku) namun hendaklah ia berkata, sayyidi (tuanku)’’.
 Hadis tersebut menunjukkan dan mengajarkan  bagaimana Etika,Adap dan sopan santun kita kepada Allah swt.tampa menyandarkan sifat-sifat Rububiyyah kepadanya .Karena Lafaz,(عبدي, أمتي)) khusus untuk Allah swt yang maha agung dan mulia.karena lafaz tersebut tak boleh salah seorang dari Mahluk tuhan menggunakannya,karena jika seorang mahluk menggunakan lafaz tersebut,maka akan merasa dirinya lebih tinggi kedudukan dari orang lain,dan menimbulkan pada dirinya sifat tercela seperti congkak,takabbur dan sombong.Dan bagi orang yang di panggil dengan lafaz tersebut,akan merasa dirinya paling rendah dan hina  dari orang lain disekelilingnya,dan juga merasa dirinya tidak punya hargadiri,Dan adapun Lafaz , و جاريتي غلا مي, فتا ي ,  فتاتي adalah lebihringan, beretika .sopan dan santun dan juga lebih enak dan nyaman didengar oleh orang yang menjadi pembantu karena kata-kata tersebut ringan tidak menimbulkan keangkuhan bagi orang yang melafazkanya.
Dan adapun diksinya Rasulullah saw.didalam memilih nama bisa ditemukan dengan beranekaragam Nama yang indah,dan maknanya sangat terpuji baik itu nama tempat.barang,hewan dan manusia diantara contok kecil dari pemberian nama yang baik kepada sahabat seperti Assidik(Benar) bagi Abubakar,Al-Faruq (pembeda antara yang benar dan yang batil),bagi Umar bin khatab,Sayyid syuhada (Orang yang mulia yang mati membela agama Allah) bagi Hamzah, Saipullah(Pedang Allah) bagi Khalid dan Sapinah(perahu) bagi sahabatnya Abdurahman bin Ummi Salamah.Semua itu dari Zauq dan penghormatan Nabi kita Muhammad saw.kepada Sahabat-sahabatnya yang mulia  digaris terdepan  pembela Agama Allah.Masih banyak lagi yang tak bisa kusebutkan satu persatu nama-nama yang indah yang disematkan oleh Nabi saw.yang sangat lihai didalam beretika dan berbahasa,semoga semua makalah yang sedarhana ini bermamfaat bagi kita semua dan kita bisa  mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari Amin yarabbalalamin.



BY:M:KHAIRUNNASIRIN 

Template by:
Free Blog Templates